Selamat Datang Di Blog Fitri... ^_^

Jumat, 22 April 2011

Akuntansi Syariah


PENYESUAIAN TEORI AKUNTANSI SYARI`AH:
PERSPEKTIF AKUNTANSI SOSIAL DAN
PERTANGGUNGJAWABAN
Dewasa ini, nilai-nilai agama telah dijadikan pijakan dalam pengembangan dan  pelaksanaan aktivitas bisnis, sehingga bisnis diharapkan tidak meninggalkan etika. Dalam tradisi Islam, seluruh etika yang dijadikan kerangka bisnis, dibangun atas dasar Syariah. Syariah merupakan pedoman yang digunakan oleh umat Islam untuk berperilaku dalam segala aspek kehidupan Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (termasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Syariah.
Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan bila, misalnya, bank Islam beroperasi berdasarkan pada nilai etika Syariah. Bahkan secara formal bank Islam membentuk suatu badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Syariah bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syariah yang berdiri secara tidak tergantung pada bagian bank lainnya (independent) di dalam organisasi bank.
Dalam konteks pembangunan ekonomi umat, keberadaan dan kehadiran lembaga bisnis, seperti lembaga keuangan syariah adalah mutlak adanya. Sebab perbankan bertindak sebagai perantara (intermediary) antara unit penawaran (supply) dengan unit permintaan (demand). Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di unit bisnis. Oleh karena itu, diperlukan sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Sehubungan dengan itu, perlu pula adanya proses akuntansi. Proses akuntansi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan, dan masyarakat sekelilingnya, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi.
Faktor-faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai pengaruh besar terhadap bentuk akuntansi. Hal ini membuktikan bahwa akuntansi adalah sebuah keutuhan (entitas/entity) informasi yang tidak bebas nilai.
Sehubungan dengan hal di atas, Baswir menyatakan bahwa: “munculnya kesan bahwa akuntansi juga memiliki kaitan dengan ideologi sulit untuk dielakkan, dan akuntansi seperti yang saat ini diajarkan pada jurusanjurusan akuntansi di Indonesia, ternyata sangat kuat dipengaruhi oleh kapitalisme. Pengaruh kapitalisme itu terutama tampak sangat nyata pada kuatnya pengaruh prinsip ekonomi kapitalistik dalam penyajian laporan pendapatannya.”       
Dengan demikian, apabila suatu Negara mengikuti Sistem Ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah Sistem Akuntansi Islam (Syariah). Namun perlu disadari bahwa anggapan terhadap keberadaan akuntansi Syariah (Islam) masih banyak dipertanyakan orang. Lahirnya akuntansi Syariah adalah setelah adanya anggapan kurang yakin terhadap keberadaan akuntansi konvensional sebagai ilmu pengetahuan dan pelaksanaannya dalam kaitannya dengan persoalan nilai dalam akuntansi.
Anggapan tentang akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free) pada akhir tahun 1970-an sudah mulai digoyang keberadaannya. Anggapan tersebut sejak lama mendominasi sebagian besar akuntan dan para peneliti di bidang akuntansi. Keadaan semacam ini semakin kuat karena adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang terbawa oleh arus era informasi dan globalisasi. Ciri utama dari era informasi dan globalisasi adalah adanya kecenderungan untuk melakukan harmonisasi sesuatu. Hal ini berarti adanya kehendak untuk memberlakukan praktikpraktik tertentu, termasuk praktik akuntansi secara seragam.
Fungsi manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah. Oleh karena itu, seluruh upaya yang dilakukan oleh manusia harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat atau harus berorientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan akuntansi syariah. Akuntansi harus berkembang dengan menjawab kebutuhan masyarakat.
Islam melalui al-Qur'an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku bisnis atau pembuatan laporan akuntansi menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 282. Disamping itu, akuntansi Syariah harus berorientasi sosial. Hal ini berarti, bahwa akuntansi tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode untuk menjelaskan tentang bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat (Islam).
Suatu badan usaha/organisasi/lembaga baik yang bertujuan mencari laba maupun nirlaba (non-profit) membutuhkan informasi untuk proses pengambilan keptusan dan pengembangan perusahaan. Pada sisi inilah akuntansi berperan. Akuntansi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu gugusan tugas manajemen dalam mencapai tujuannya. Akuntansi akan memberikan informasi yang sangat dibutuhkan manajemen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, yaitu: Perencanaan; Pengorganisasian; Pengarahan; dan Pengawasan.
Fungsi-fungsi tersebut merupakan fenomena yang akan menjadi kajian keilmuan, terutama yang berkaitan dengan hakekat dari sudut pandang syariah Islam. Kesesuaian antara fenomena yang terjadi dengan apa yang telah digariskan dalam sistem-Nya, yaitu ayat-ayat al-Qur'an. Dari sinilah akan dapat ditemukan hakikat ilmu yang sebenarnya, baik dari sisi pengertian, cara memperoleh dan kegunaan bagi masyatakat Islam pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Hadjisarosa menyatakan "sesuatu (ekonomi/akuntansi) menurut pengertian yang umum akan memperoleh predikat syariah setelah dikenali secara benar dan utuh, dengan catatan, benar dan utuh menurut Hukum-hukum Ketetapan-Nya (sunatullah).
Sehubungan dengan perkembangan system ekonomi baru, yaitu sistem ekonomi Islam, tentu saja kondisi ini menuntut relevansi seluruh instrumen, model, sistem dan paradigma akuntansi. Dengan kata lain, kondisi ini harus dibarengi dengan munculnya keterbukaan dan kesadaran para ilmuwan untuk menemukan dan mengembangan ilmu baru yang sesuai dengan disiplin yang ada. Oleh karena itu, Cooper dan Hopper menyatakan bahwa:
… critical accounting is critical of convetional accounting theory and practice and, through critical social science theory, it seeks to explain how the current state of accounting has come about”.
Pernyataan ini menandakan betapa pentingkan critical theory dalam rangka membangun suatu teori baru yang sesuai (relevan) dengan perkembangan masyarakat. Bagaimana kerangka kerja yang akan ditempuh apabila kita menggunakan pendekatan critical theory? Pada tataran yang lebib luas, menurut Lodh disarankan, bahwa: “… an accounting researcher can ask: what, how and why accounting rationale has become purposive, is being used, is to be used, and what are the means for doing so in a particular context?
Melalui pendekatan critical theory kita akan melihat suatu teori itu bukan saja terletak pada upaya menempatkan ideology sebagai ‘bentuk pemikiran’ akan tetapi juga akan mencoba mengkaji tentang bagaimana kondisi sosial, seperti sistem akuntansi yang dikembangkan oleh kaum kapitalis, terpenuhinya kepuasan kebutuhan hidup, dan kebebasan diri dari kondisi social masyarakat yang rentan.
Berdasarkan uraian di atas, maka melalui pendekatan critical theory ini akan mampu menemukan kerangka rasional hakikat dan penerapan teori akuntansi yang lebih sesuai dengan budaya lokal Islam, yang sarat dengan nilai. Dengan kata lain, pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini harus dimapankan sebagai: “a process which can be used for analysing and changing the nature of any accounting system, and its social context, of any particular organisation”.Artinya, suatu proses yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengubah hakikat sistem akuntansi dalam hubungannya dengan kondisi sosial atau organisasi tertentu.

HISAB,MUHASABAH DANAKUNTANSI

Syariah Islam adalah syari’at yang memberikan perhatian besar terhadap masalah hisab. Hisab adalah salah satu proses perhitungan amal selama hidup manusia di dunia oleh Allah. Sebagai khalifah, manusia diberikan amanah oleh Allah untuk mengelola bumi yang kemudian hasilnya dipertanggungjawabkan kepadaNya. Oleh karena itu, setiap manusia dalam hidupnya harus selalu dalam keadaan amanah, jujur dan komitmen tinggi terhadap janji yang telah diucapkan kepada Allah. Hal demikian ini merupakan bagian dari perilaku manusia yang Islami. Sehubungan dengan ini, Ghamidi (1997) mengatakan bahwa: “perilaku yang Islami, adalah perilaku yang pelakunya, selalu merasakan adanya pengawasan oleh Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terlihat orang dan selalu melakukan muhasaba (menghitung-hitung atau mengevaluasi) diri, terhadap kaum Muslimin maupun terhadap yang lain, merupakan jalan dakwah kepada Islam yang terbaik.”
Oleh karena itu, kaum Muslimin harus kembali kepada Allah, mengoreksi diri mereka, menerapkan perilaku Islami dalam seluruh segi kehidupan, senantiasa jujur, iman dan qana'ah, agar kemuliaan dapat diraih kembali.
Penggunaan kata hisab akan mengalami perubahan sesuai dengan kontek dan bentuk kalimat. Sehingga hisab akan berubah menjadi hasaba, jika kalimat yang dibentuk berarti “selesaikan tanggung jawab” atau “agar netral”. Kemudian akan berubah menjadi tahasaba yang berarti “menjaga” atau “mencoba mendapatkan.” Juga dapat berubah menjadi ihtisaba yang berarti “mengharapkan pahala di akhirat dengan diterimanya kitab seseorang dari Tuhan”, juga berarti “menjadikannya perhatian” atau “mempertanggung jawabkannya”. Akhirnya dalam perkembangan selanjutnya, peristilahan kata bahasa Inggris berkembang secara etimologis, istilah Arab justru berkembang secara fonetis (suara), kata muhasabah (akuntansi) berkaitan dengan ihtisab dan citranya dikaitkan dengan pencatatan perbuatan seseorang secara terus menerus sampai pada pengadilan akhirat dan melalui timbangan (mizan) sebagai alat dan Tuhan sebagai akuntan.
Ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan masalah hisab, pada intinya adalah mengandung nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan akuntansi syariah. Dengan demikian, apabila keinginan kita hendak membangun suatu teori tentang akuntansi syariah, maka tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar al-Qur'an tentang sesuatu teori. Dengan kata lain, nilai-nilai al-Qur'an harus dijadikan prinsip-prinsip dalam aplikasi akuntansi.
Kaitannya dengan penerapan akuntansi (muhasabah) atau pencatatan seluruh transaksi
yang dilakukan selama bermuamalah, maka al-Qur’an memberikan rambu-rambu prinsip umum yang harus diikuti dalam bermuamalah. Prinsip-prinsip umum ini secara tegas dinyatakan dalam firman Allah, yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ber-muamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar. Dan jangnlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang berutang itu mengimlakkan apa yang ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akal atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kamu ...”
Terjemahan ayat tersebut di atas secara tegas Allah mengajarkan kepada manusia, bahwa apabila manusia melakukan kegiatan muamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka ia harus melakukan pencatatan. Kegiatan muamalah –dalam kerangka bisnis  -memiliki makna “berutang piutang”. Utang piutang pada intinya adalah berhubungan langsung dengan transaksi dagang. Disamping itu juga memiliki makna pinjaman kepada pihak lain apakah itu kepada perorangan maupun lembaga. Dalam kontek inilah al-Qur’an mengajarkan agar seluruh transaksi pinjam meminjam atau jual beli dilakukan penulisan transaksinya. Jika demikian maka akuntansi merupakan hal penting dalam setiap transaksi perdagangan atau perusahaan.
Lebih-lebih lagi, proses perdagangan atau transaksi di masa sekarang telah mengalami pergeseran. Artinya, budaya transaksi dengan sistem kredit saat ini banyak di lakukan di samping adanya transaksi perdagangan secara kontan (tunai). Dengan demikian, proses pencatatannya harus dilakukan untuk transaksi kredit maupun tunai. Oleh karena itu, setiap transaksi dalam berniaga seharusnya ditulis secara baik dan benar. Sebab hal demikian dapat menjadi informasi penting dalam melakukan aktivitas niaga pada masamasa yang akan datang. Dengan melakukan penulisan terhadap semua transaksi, peminjam ataupun penjual akan lebih mudah mempertanggungjawabkan niaganya. Hal inilah yang menjadi inti dari ayat 282 QS. Al-Baqarah tersebut di atas. Dengan demikian, mengacu pada uraian di atas, maka secara ringkas dapat dirumuskan prinsip umum akuntansi syariah sebagai berikut:
Keadilan
Kebenaran
Pertanggungjawaban
Berdasarkan tiga prinsip umum tersebut dan didukung dengan bentuk-bentuk praktis hisab yang tercantum dalam tiga puluh ayat di atas –yang akan dikenakan Allah kepada umat manusia, maka selanjutnya dapat ditemukan prinsip-prinsip khusus dalam akuntansi syariah. Oleh karenanya nilai keadilan, kebenaran dan pertanggungjawaban pencatatan transaksi dapat terwujud apabila pelaporan akuntansi dilakukan dengan: benar; cepat; terang, jelas, tegas dan informatif; menyeluruh; ditujukan kepada semua pihak; terperinci dan teliti; tidak terdapat unsure manipulasi; dan dilakukan secara kontinyu.



PENYESUAIAN
TEORI AKUNTANSI SYARIAH

Pembicaraan akuntansi syariah (Islam), akhir-akhir ini semakin sering kita dengar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, walaupun keberadaan akuntansi syariah itu sendiri seperti halnya dengan keberadaan Sistem Ekonomi Islam masih dipertanyakan. Pembicaraan semacam itu muncul karena  akuntansi yang dipelajari sampai saat ini masih tertuju dan merujuk pada system akuntansi Barat, yang didalamnya mengandung persoalan. Beberapa diantaranya adalah (1) persoalan kepemihakan, (2) asumsi atau basic concept, (3) efek dari persoalan basic concept tentu saja merembes ketingkat standar, atau bahkan metode akuntansi yang dipilih. Berangkat dari tiga persoalan dasar tersebut, maka semua asumsi, postulat, kaidah, dan prinsip-prinsip dalam akuntansi Barat dapat diterapkan untuk lembaga-lembaga atau perusahaan yang menegakkan nilainilai Islam. Oleh karena itu, perlu dirancang atau dibangun sistem, format akuntansi yang menegakkan nilai-nilai Islam.

Teori Akuntansi Syariah

Ada suatu perubahan luar biasa dalam bidang ilmu akuntansi untuk beberapa decade belakangan ini. Sebelum tahun 1970-an ada anggapan tentang akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktek yang bebas dari nilai (value-free) sudah mulai digoyang keberadaannya. Anggapan tersebut sejak lama mendominasi sebagian besar akuntan dan para peneliti di bidang akuntansi. Keadaan semacam ini semakin kuat karena adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang terbawa oleh arus era informasi dan globalisasi.
Pada era informasi dan globalisasi dalam bidang akuntansi ada upaya harmonisasi praktek-praktek akuntansi. Hal ini berarti ada kehendak untuk memberlakukan praktekpraktek akuntansi secara seragam seluruh dunia. Dengan kata lain, nilai-nilai local praktek akuntansi yang mungkin sangat berbeda dengan praktek dunia internasional sedapat mungkin dieliminasi karena keberagaman praktek akuntansi di setiap negara dianggap menyulitkan dalam menafsirkan laporan keuangan, atau praktek akuntansi yang beragam itu tidak dapat diperbandingan (uncomparable).
Kasus ini mengundang reaksi banyak kalangan, sehingga muncullah pandangan pandangan yang bersifat pro dan kontra. Mereka yang berpandangan kontra mengecam bahwa tindakan untuk melakukan harmonisasi merupakan tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai lokal. Mereka justru melihat bahwa sebetulnya akuntansi adalah suatu bentuk pengetahuan dan praktek yang banyak ditentukan lingkungannya (non value-free). Bahkan ada yang mengatakan akuntansi adalah "anak" yang lahir dari budaya setempat (lokal).
Pandangan kedua, memang secara eksplisit menolak pandangan pertama yang bersifat fungsionalis dan positivistik, kalau ditelusuri ke belakang akar pemikiranya berasal dari August Comte. Pemikiran ini memiliki sifat reduksionis, yaitumenghilangkan kandungan nilai yang seharusnya terkandung dalam ilmu pengetahuan dan praktek akuntansi. Keringnya nilai ini menyebabkan masyarakat bisnis, ketidakseimbangan tatanan sosial, dan kerusakan lingkungan terjadi.
Akuntansi syariah, menurut Iwan Triyuwono dan Gaffikin dikatakan, merupakan salah satu upaya mendekontruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuan diciptakannya akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal.41 Konsekuensi ontologis upaya ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas peradaban, beserta jaringan-jaringan kuasanya, kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringanjaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari (ontologi tauhid).
Dengan cara demikian, realitas alternative diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang kepada kuasa Allah. Dengan kesadaran diri tersebut, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat dimana ia berada. Dengan demikian, melalui akuntansi syariah, realitas sosial akan dirancang dan dibangun melalui muatan nilai tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi. Kesemuanya itu dilakukan dengan perspektif khalifatullah fil ardh. Perspektif ini berarti suatu cara pandang yang sadar akan hakikat diri manusia dan tanggung jawab kelak di kemudian hari di hadapan Allah SWT.
Akuntansi syariah pada intinya akuntansi yang akan dinilai kembali dari sudut pandangan Islam. Kecenderungan lahirnya akuntansi syariah adalah sangat baru dan para ahli akuntansi syariah belum secara jelas membuat tujuannya. Hal ini dapat menjadi suatu kasus jika diganti istilah ekonomi dunia ke akuntansi sebagaimana dikatakan oleh Baqir as-Sadr, bahwa "Ekonomi Islam ... bukanlah suatu pelajaran tetapi suatu teori .... Teori artinya metode dan alat belajar untuk menafsirkan".
Oleh karena itu, akuntansi syariah adalah teori yang menjelaskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Sehubungan dengan ini Shahata menjelaskan kemungkinan keberadaan akuntansi syariah sebagai berikut: “Postulat, standar, penjelasan dan prinsip akuntansi yang menggabarkan semua hal ... karenanya secara teoritis akuntansi memiliki konsep, prinsip, dan tujuan Islam dan semua ini secara serentak berjalan bersama bidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, etika yang dimiliki Islam, kehidupan Islam dan keadilan dan hukum Islam. Dan Islam adalah suatu program yang memiliki bidangbidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, manajemen, akuntansi, dan lain-lain. Kesemua ini adalah satu paket yang tak bias dipisah.”
Shahata menjelaskan maksud tersebut dalam rangka mempublisasi akuntansi Islam dalam bentuk definisi atau penyataan sebagai berikut: “Kita ingin menunjukkan aspek Islam dari akuntansi yang bersumber hukum hanya dari prinsip Islam, standar yang unik, tujuannya, prinsip atau hal-hal yang tercantum dalam Qur'an dan Sunnah, tetapi dari rencana sekarang dan masa depan dan sifat akuntansi yang dapat diambil dari pandangan aspek ini sebagai suatu yang unik dan dasar dari akuntansi.”
Dalam mencari bentuk akuntansi syariah, harus berangkat dari suatu asumsi bahwa akuntansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan. Kekuatan pertama adalah bahwa akuntansi adalah sesuatu yang dibentuk oleh lingkungannya. Kekuatan kedua adalah bahwa akuntansi adalah sesuatu yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, termasuk perilaku manusia yang menggunakan informasi akuntansi. Jika demikian, maka usaha yang harus dilakukan oleh para akuntan adalah bagaimana mereka dapat menciptakan sebuah bentuk akuntansi yang dapat mengarahkan perilaku manusia ke arah perilaku yang etis dan ke arah terbentuknya peradaban bisnis yang ideal. Menurut Triyuwono dikatakan bahwa bisnis yang ideal yaitu peradaban bisnis dengan nilai humanis, emansipatoris, transendental, dan teologikal.
Sesuai dengan sifat bisnis tersebut, maka akuntansi syariah juga harus memiliki sifat humanis, emansipatoris, transendental, dan teologikal. Lebih jauh Triyuwono menguraikan sifat-sifat tersebut sebagai berikut. Nilai humanis akuntansi syariah adalah, bahwa akuntansi yang dibentuk ini ditujukan untuk memanusiakan manusia, atau mengembalikan manusia pada fitrahnya yang suci. Sebab menurut penelitian Morgan (1988) diketahui, bahwa praktek akuntansi telah mengakibatkan manusia menjadi less humane.46 Atau dengan istilah lain, bahwa masyarakat kita sedang mengalami proses dehumanisasi.
Sifat humanis akuntansi atau bentuk bisnis lainnya tersebut, diharapkan dapat mendorong perilaku manusia itu sendiri. Sehingga manusia semakin kuat kesadaran dirinya tentang hakikatnya. Melalui kesadaran diri tentang hakikat manusia ini merupakan landasan bagi manusia dalam memberi nilai emansipatoris pada akuntansi syariah. Sifat ini berarti bahwa tidak lagi berlaku bentuk dominasi atau penindasan dari satu pihak ke pihak yang lain. Dengan kata lain, informasi yang diberikan oleh akuntansi syariah adalah berupa pembebasan dan tertuju pada semua pihak serta tidak menyepelekan pihak lain, atau akuntansi syariah akan berdiri pada posisi yang adil.
Oleh karena akuntansi syariah dibangun berdasarkan syariah Islam, maka nilai transendental akuntansi syariah terlihat jelas. Hal ini merupakan indikasi yang kuat bahwa akuntansi syariah tidak semata-mata menjadi instrumen bisnis yang bersifat profan, tetapi juga sebagai instrumen yang melintas batas dunia profan. Dengan demikian, yang selama ini akuntansi dikenal sebagai alat pertanggungjawaban kepada pemilik perusahaan, maka akuntansi syariah adalah lebih dari itu, yaitu pertanggungjawaban kepada stakeholders dan Tuhan. Dengan sifat ini, dalam melakukan praktek bisnis dan akuntansi maka seseorang yang terlibat akan selalu menggunakan, atau tunduk dan pasrah terhadap kehendak Tuhan (etika syari'ah). Nilai semacam inilah yang dimaksud dengan teologikal. Artinya praktek akuntansi syariah akan mengantarkan pelakunya secara riil teraktualisasi dalam bentuk kegiatan menciptakan dan menyebarkan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Mengapa akuntansi syariah muncul ke permukaan, padahal akuntansi Barat telah mengakar dalam inti bisnis masyarakat? Ternyata, para perintis akuntansi, khususnya bidang ekonomi politik akuntansi, memiliki beberapa keraguan tentang pandangan akuntansi modern yang akan menunjukkan data akuntansi secara netral diantara pemakainya. Mereka menganggap hubungan antara akuntansi dan masyarakat adalah penting. Mereka mempertanyakan peranan akuntansi untuk menghubungkan masalahmasalah sosial dengan masalah organisasi dan individual. Sebab perhatian terhadap akuntansi dalam masyarakat tidak sama di mana-mana kendatipun di antara masyarakat (negara-negara) yang menganut konsep itu seluruhnya.         
Teori akuntansi harus mengkaji akuntansi di masyarakat dimana ia dipraktekkan. Hal ini berarti bahwa sikap ini mungkin merupakan suatu cara untuk melahirkan aturan-aturan akuntansi. Sebagaimana dijelaskan oleh Gambling, oleh karena tidak adanya aturan akuntansi, maka akuntansi Barat tidak membahas mengenai aturan apa pun yang berkaitan dengan masalah organisasi (perusahaan), yang berhubungan dengan masyarakat dan individu. Aturan semacam itu bisa disebut sebagai suatu bahasan dalam teori akuntansi sekarang. Di pihak lain persyaratan masyarakat mengenai akuntansi secara kuantitatif meningkat juga.
Akuntansi syariah tidak menolak pendapat bahwa akuntansi menyesuaikan kelompokkelompok yang berkepentingan. Tetapi Akuntansi Syariah menyangkut masalah ekonomi, masalah politik, dan juga masalah akuntansi. Dengan kata lain, fungsinya sebagai bagian syariah. Dalam konteks itu harus diterima bahwa akuntansi Islam (syariah) memainkan peranan untuk menyesuaikan kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam masyarakat. Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa teori akuntansi syariah dipelajari sebagai suatu sistem akuntansi dan pada saat yang sama ditafsirkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan manajemen, ekonomi, hukum, politik, dan agama.

Praktek Akuntansi Syariah

Kemunculan dan perkembangan lembaga keuangan Islam di Indonesia yang sangat fenomenal, telah memicu lahirnya diskusidiskusi serius lebih lanjut, mulai dari produk atau jasa yang ditawarkan, pola manajemen lembaga, sampai kepada pola akuntansinya. Aspek akuntansi badan usaha memang selalu menarik untuk dijadikan kajian dan bahan diskusi, apalagi bila badan tersebut mempunyai kekhasan tersendiri seperti halnya lembaga keuangan Islam. Menariknya akuntansi untuk dibahas, tentu karena adanya beberapa alasan. Pertama: akuntansi selama ini dikenal sebagai alat komunikasi, atau sering diistilahkan sebagai bahasa bisnis. Kedua, akuntansi sering diperdebatkan apakah ia netral atau tidak. Ketiga, akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan (politik, ekonomi, budaya) dimana ia dikembangkan; dan Keempat, akuntansi mempunyai peran sangat penting, karena apa yang dihasilkannya, bias menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan penting dan menentukan.
Dengan pertimbangan faktor-faktor di atas, maka manakala lembaga keuangan Islam ramai dibicarakan, timbul pertanyaan seperti, bagaimana dengan akuntansi yang diterapkan oleh lembaga keuangan Islam? Apakah lembaga keuangan Islam boleh memakai akuntansi yang sekarang dikenal, atau harus menerapkan praktik akuntansi yang berbeda? Jika demikian, bagaimana bentuk akuntansi yang lebih Islami, atau dapat diterima syariah? Sejauh mana akuntansi syariah berbeda dengan praktik akuntansi yang sekarang ada?
Pada tatanan teknis operasional, akuntansi syariah adalah instrumen yang digunakan untuk menyediakan informasi akuntansi yang berguna bagi pihak-pihak yang bekepentingan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana keputusan ekonomi yang sekiranya tidak menyimpang dari syariah Islam atau dapat diterima oleh Islam. Untuk itu, dalam pembahasan teori maupun praktek ekonomi (termasuk di dalamnya bidang manajemen atau akuntansi, misalnya) hendaknya dibahas dari sudut Islam, bukan sekedar dari sudut agama. Dalam kaitan ini, Qardhawi menyarankan, agar: “kita tidak membahas ekonomi dari sudut agama, akan tetapi (membahas) ekonomi dari sudut Islam”. Mengapa demikian? Sebab Islam adalah lebih integral dari sekedar agama. Islam adalah agama dan dunia, ibadah dan muamalah, aqidah dan syariah, kebudayaan dan peradaban, agama dan negara.
Selain dari pada itu, kita mendapatkan hal pokok lain dalam ibadah Islam. Menurut Qardhawi ditegaskan : “… bagian ibadah Islam yang pokok itu, adalah satu ibadah khusus yang istimewa, yang pada kenyataannya merupakan bagian dari sistem keuangan dan ekonomi dalam pandangan Islam. Itulah ibadah zakat, ...Dalam bagian dosa besar yang diharamkan dengan pengharaman yang sangat kuat, kita menemukan dosa besar agama, yang tergolong “tulang belikat” sistem ekonomi bagi sebagian besar umat manusia, baik dahulu maupun sekarang. Itulah riba dimana Rasulullah SAW telah melaknati para pemakannya, pemberinya, penulisnya, dan kedua saksinya.”
Dengan demikian jelas, bahwa upaya kita menemukan format teori maupun praktek ekonomi (manajemen dan akuntansi Islam) harus dilandaskan pada Islam sebagai sesuatu yang integral. Kemudian diturunkan sampai pada bagian yang lebih bersifat operasional seperti bagaimana pengaturan zakat, bagaimana persoalan riba, dan sebagainya. Hal-hal demikian inilah yang merupakan ciri-ciri khas dari pengembangan bidang/aspek kehidupan yang Islami, sesuai dengan syariah Islam.
Di samping itu, usaha membentuk model akuntansi syariah bukan suatu langkah “tambal sulam” yang dilakukan untuk memperbaiki akuntansi konvensional. Akan tetapi, upaya ini harus dilakukan dengan pijakan filosofis yang sangat mendasar. Di balik itu, pemikiran filosofis tidak akan banyak memberikan perubahan, bila tidak dilanjutkan pada pemikiran teoritis dan teknis.
Menurut penilaian Gambling dan Karim, bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk membangun akuntansi (kebanyakan) adalah dengan pendekatan seperti: empiricalinductive approach dan empirical-deductive approach. Di samping itu, Gambling dan Karim mengkritik terhadap metode dan pengukuran akuntansi, serta klasifikasi aktiva. Kritikan dan penilaian Gambling dan Karim tersebut akhirnya ditemukan sebuah kesimpulan bahwa untuk pengukuran zakat dari harta dan aset yang dimiliki oleh perseorangan maupun perusahaan, harus digunakan pendekatan lain.
Akuntansi Syariah sebagai Refleksi Akuntansi Sosial dan Pertanggungjawaban. Wujud akuntansi syariah tercermin dalam kiasan atau metafora “amanah”. Metafora amanah dapat diturunkan menjadi metafora “zakat”, atau dengan kata lain, realitas organisasi akuntansi syariah adalah realitas organisasi yang dimetaforakan dengan zakat. Metafora ini membawa konsekuensi pada organisasi bisnis, yaitu organisasi bisnis yang tidak lagi berorientasi pada laba (profitoriented) atau berorientasi pada pemegang saham (stakeholders-oriented), tetapi berorientasi pada zakat (zakat-oriented).52 Dengan orientasi zakat, perusahaan berusaha untuk mencapai “angka”pembayaran zakat yang tinggi. Dengan demikian, laba bersih (net profit) tidak lagi menjadi ukuran kinerja (performance) perusahaan, tetapi sebaliknya zakat menjadi ukuran kinerja perusahaan.
Dilihat dari nilai praktis akuntansi, akuntansi syariah dengan metafora amanah dan berorientasikan zakat merupakan metafora akuntansi yang sangat fokus pada orientasi sosial dan pertanggungjawaban. Sebab akuntansi (bisnis) yang bermetaforakan amanah biasanya memiliki nilai praktis yang bersifat humanis, emansipatoris, transcendental dan teleologikal. Nilai praktis ini, menunjukkan sifat amanah bagi para pelaku dan penggunanya. Menurut tradisi Islam, sebagaimana yang pernah diuraikan di muka, sifat amanah dapat diturunkan menjadi ciri
khas zakat. Dengan demikian, zakat merupakan tujuan akhir dari setiap unit bisnis Islami (syariah).
Nilai praktis akuntansi syariah yang berorientasi zakat tersebut, menimbulkan konsekuensi ontologis, bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) manusia beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringanjaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari. Dengan istilah lain, dapat terbangunnya ontologi tauhid. Dengan cara demikian, realitas alternatif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada kuasa Ilahi. Melalui kesadaran diri ini, seseorang akan selalu merasa kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana berada.
Jadi, dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dikonstruk mengandung nilai tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi; yang semuanya dilakukan dengan meta-perspective, yaitu perspektif khalifat-ulLah fil ardh, suatu cara pandang yang sadar akan hakikat diri manusia dan tanggungjawab kelak di kemudian hari di hadapan Allah SWT. Dalam skala mikro, realitas sosial dapat diidentikan dengan realitas organisasi, yaitu realitas yang diciptakan dalam organisasi bisnis, sehingga terbentuk kondisi seperti yang dicitakan dalam ontologi tauhid tadi. Bila realitas organisasi yang demikian tercipta, maka sangat mungkin bahwa realitas tersebut akan menebarkan rahmat, yang tidak saja bagi mereka yang secara aktif terlibat dalam operasi organisasi, tetapi juga kepada masyarakat luas dan lingkungan alam sekitarnya.
Gambaran ideal tersebut di atas dapat diwujudkan bila organisai (bisnis) dikiaskan sebagai zakat. Penggunaan kiasan semacam ini adalah sangat penting, karena dengan cara ini seseorang akan merancang organisasi. Sebagaimana diketahui, bahwa banyak metafora-metafora organisasi yang telah dikenal, diantaranya: cybernetic system, population ecology, political system, theater, culture dan lain-lainnya. Kesemua metafora ini berdiri di atas paradigma positivistik. Penggunaan masing-masing metafora tersebut mempunyai implikasi sendiri-sendiri terhadap realitas kehidupan manusia. Penggunaan metafora amanah dan zakat dalam bentuk yang lebih operasional merupakan salah satu alternatif untukmenciptakan realitas organisasi yang terikat pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi. Dengan demikian, bila metafora zakat (realitas organisasi bermetaforakan zakat) secara sadar diterima dan dipraktikkan dalam kegiatan bisnis sebuah perusahaan atau dalam keseluruhan sistem bisnis, maka di dalamnya akan tercipta apa yang dinamakan dengan realitas organisasi dengan jaringan kuasa Ilahi. Realitas organisasi demikian inilah yang harus direfleksikan secara “obyektif” oleh akuntansi. Oleh karena, dengan “obyektivitas”, akuntansi tidak akanmembiaskan atau mendistorsikan realitas organisasi yang bermetaforakan zakat ke dalam bentuk realitas lainnya.        
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Artinya ajaran Islam akan dapat diterapkan atau dipakai siapa saja, dan dimana saja. Rahmatan lil ‘alamiin adalah sebuah konsep yang mengandalkan pada konsep keadilan. Keadilan merupakan isi kandungan yang tidak dapat dihilangkan dari keyakinan Islam. Sehingga kondisi ideal masyarakat Islam tidak akan dapat tercapai apabila keadilan tidak ditegakkan. Islam ingin menjinakkan semua perilaku dzalim dari masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah perilaku dzalim masyarakat bisnis. Perilaku dzalim adalah perilaku-perilaku dalam bentuk diskriminasi, ketidakadilan, eksploitasi, tekanan dan perilaku sewanang-wenang yang dengan dengan perilaku ini dapat merugikan orang lain. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah kapan suatu keadilan dalam suatu masyarakat terwujud? Keadilan masyarakat merupakan keadilan ideal, dimana masyarakatnya dapat hidup dengan layak dalam berbagai bidang. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan masyarakat Islam yang ideal sementara keadilan tidak ditegakkan.
Berdasarkan paparan di atas, satu hal yang tidak dapat dihindari dari keyakinan Islam bahwa manusia merupakan khalifah (wakil) Tuhan, dan manusia harus mengatur hidup sesuai dengan status mereka. Pengarahan-pengarahan yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam adalah dalam rangka membantu merealisasikan tujuan ini. Para ulama sangat percaya bahwa kesejahteraan umat dan peringanan mereka dari beban hidup yang berat merupakan tujuan dasar syariah. Pandangan ini, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi merupakan penekanan pada penciptaan kelayakan ekonomi melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan penciptaan keadilan sosial-ekonomi.
Pembicaraan mengenai akuntansi Islam haruslah dipahami sebagai sebuah alat yang memiliki orientasi sosial. Mengapa demikian? Sebab akuntansi Islam tidak hanya sebagai alat untukmenterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode untuk menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Hal ini tidak sama dengan perbedaan antara akuntansi deskriptif dengan akuntansi normatif. Akuntansi deskriptif ini bertujuan untuk menawarkan akuntansi yang cocok dengan tujuan tertentu. Jika tujuan berbeda,maka pasti norma juga berbeda. Akuntansi Islam memiliki satu tujuan yaitu akuntansi harus mematuhi prinsip Islam.
Akuntansi Islam muncul sebagai turunan dari prinsip-prinsip Islam. Dalam kaitan ini, semua akuntansi Islam dapat disebut normatif. Tetapi, benar juga jika disebut bahwa di mata masyarakat (Islam), perbedaan yang menarik antara positif-normatif atau deskriptif/preskriptif atau dikotomi mendasar antara fakta-nilai yang merupakan sifat yang dianut, merupakan suatu jenis pengetahuan yang saat ini terjebak dalam suasana kendala metodologi dalam studi akuntansi khususnya tentang Akuntansi Islam. Hukum Islam atau syariah, berlaku bagi setiap muslim dan membentuk aturan dasar bagi semua lembaga keuangan syariah (Islam), termasuk perbankan syariah. Syariah diterapkan untuk mewujudkan masyarakat ideal, sehingga lembaga
keuangannya dan akuntansi memiliki kesamaan pembenarannya sendiri. Tentu saja ada perbedaan pendapat terhadap suatu fenomena ekonomi. Argumen mengenai sifat-sifat zakat misalnya. Tidak peduli apakah perusahaan menghemat uang atau pemerintah mengumpulkan zakat, tetapi masalahnya adalah menentukan apakah yang terbaik untuk memahami Islam.
Secara jelas akuntansi Islam yang diterapkan pada lembaga keuangan syariah adalah upaya penerapan akuntansi yang menyangkut masalah ekonomi, masalah politik, dan juga masalah akuntansi itu sendiri. Dengan kata lain, fungsinya sebagai bagian dari syariah. Dalam konteks itu harus diterima, bahwa akuntansi syariah memainkan peranan untuk menyesuaikan kelompokkelompok yang berkepentingan bisnis dalam masyarakat. Di sinilah letak posisi social dari akuntansi Islam.
Akuntansi berorientasi sosial adalah sebuah akuntansi yang menyajikan atau mengungkap dampak sosial perusahaan terhadap masyarakat. Dengan demikian, pengungkapan perusahaan tentang dampak sosialnya terhadap masyarakat sebagai suatu kewajiban. Jika ihwalnya adalah berkaitan dengan masalah kewajiban sosial, maka cara baku untuk pengembangan akuntansi yang dapat diterima oleh seluruh umat –sesuai dengan sifat rahmatan lil ‘alamiin ajaran Islam– adalah dengan cara memperluas konsep dasar sistem zakat.
Mengapa harus memperluas konsep dasar sistem zakat? Sebab sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa zakat sebagai suatu institusi yang memiliki perspektif sosial harus dikenakan kepada seluruh aktiva perusahaan maupun perorangan. Walaupun meski harus dilihat lebih dahulu apakah zakat dikenakan kepada aktiva lancer atau tidak lancar. Mengingat zakat merupakan pengeluaran yang harus dibayarkan setelah mencapai nishab. Nishab terjadi apabila harta yang dimiliki seseorang atau perusahaan itu bertambah dan bertambah, sehingga yang bersangkutan akan dikenai pengeluaran zakat apakah sebanyak 2,5%, 5% atau 10%, tergantung pada jenis aktiva yang menghasilkan yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan. Dengan kata lain, zakat dalam akuntansi dikenakan pada aktiva lancar.
Oleh karena orientasi sosial akuntansi syariah adalah dibebankan kepada perluasan konsep zakat, maka kias (metafora) organisasi akuntansi harus dirujukkan pada orientasi zakat, bukan lagi pada orientasi laba atau stakeholder oriented. Inilah yang lebih lanjut dikatakan oleh Triyuwono sebagai organisasi bermetaforakan “amanah”. Orientasi zakat mengandung pengertian luas dan komprehensif. Sebab zakat bukan sekedar dinyatakan dalam bentuk angka-angka prosentase, akan tetapi melalui zakat dapat diketahui kinerja perusahaan. Yaitu semakin tinggi zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan berarti semakin besar laba yang di dapat perusahaan.
Lebih tegas lagi dapat dikatakan, bahwa penggunaan kiasan (metafora) zakat untuk menciptakan realitas organisasi mempunyai beberapa makna. Menurut Triyuwono ada lima makna realitas organisasi tersebut, yaitu:
Ada transformasi dari pencapaian laba bersih (yang maksimal) ke pencapaian zakat.
Karena yang menjadi tujuan adalah zakat, maka segala bentuk operasi perusahaan (akuntansi) harus tunduk pada aturan main (rules of game) yang ditetapkan dalam syariah.
Zakat mengandung perpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara karakter egoistik dan altruistik/sosial.
Zakat mengandung nilai emansipatoris.
Zakat adalah jembatan penghubung antara aktivitas manusia yang bersifat duniawi dan ukhrowi.
Zakat mengandung perpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara karakter egoistik dan altruistik/sosial. Artinya, bahwa seseorang mengeluarkan zakat berarti ia telah mementingkan lebih dahulu kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadinya. Karakter egoistik mencerminkan bahwa seseorang atau perusahaan tetap diperkenankan untuk mencari laba (namun tetap dalam bingkai Syariah), dan kemudian sebagian dari laba (dan kekayaan bersih) yang diperoleh dialokasikan sebagai zakat. Sedangkan altruistik atau sosial mempunyai
arti bahwa perusahaan juga mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan manusia dan alam lingkungan yang semuanya ini tercermin dalam zakat itu sendiri.
Zakat mengandung nilai emansipatoris. Hal ini berarti, bahwa zakat sebagai lambing pembebas manusia dari ketertindasan ekonomi, sosial, dan intelektual, serta pembebasan alam dari penindasan dan eksploitasi manusia. Akhirnya, zakat adalah jembatan penghubung antara aktivitas manusia yang bersifat duniawi dan ukhrowi. Hal ini berarti, bahwa zakat sebagai jembatan, memberikan kesadaran ontologism bagi diri manusia, karena segala bentuk kegiatan profan selalu berkait erat dengan kehidupan manusia dihadapan Allah kelak di akhirat.
Dengan demikian jelas, bahwa kiasan (metafora) akuntansi syariah harus dibangun dengan memperhatikan makna zakat, sebagai suatu orientasi sosial. Sebab orientasi ini akan berkaitan erat dengan tujuan akhir kinerja akuntansi. Tujuan akhir kinerja akuntansi adalah pembuatan laporan sebagai bahan pertanggungjawaban tentang kondisi aktiva, pasiva, dan modal yang dimiliki oleh seseorang maupun perusahaan.
Implikasi dari pemikiran di atas menunjukkan, bahwa semua perangkat organisasi yang akan disusun harus benarbenar merefleksikan zakat sebagai suatu kias (metafora). Hal ini menunjukkan adanya bentuk transformasi. Transformasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, stockholders, karyawan, dan masyarakat sekelilingnya, tetapi juga perangkat informasi. Perangkat informasi yang ada dalam perusahaan inilah yang biasanya berbentuk akuntansi yang digunakan oleh organisasi yang bersangkutan.
Kecuali itu harus diingat, bahwa bentuk organisasi digambarkan di atas bukanlah sebagai satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kias (metafora) dan orientasi akuntansi syariah. Akan tetapi, faktor-faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa akuntansi merupakankeutuhan (entitas) informasi yang tidak bebas nilai, tetapi merupakan keutuhan (entitas) informasi yang sarat nilai.
Satu hal penting yang dapat dikaji dari ayat 282 surat al-Baqarah adalah adanya perintah dari Allah kepada kita untuk menjaga: Keadilan dan Kebenaran di dalam melakukan setiap transaksi. Lebih dalam perintah ini menekankan pada kepentingan pertanggungjawaban (accountability) agar pihak yang terlibat dalam transaksi itu tidak dirugikan, tidak menimbulkan konflik, dan adil. Untuk mewujudkan sasaran ini maka dalam suatu transaksi diperlukan saksi.
Di samping itu, kalau kita kembali kepada pembahasan, bahwa manusia diciptakan Allah di muka bumi ini memiliki fungsi dan peran ganda, yaitu: fungsi khalifah dan Abdullah (wakil dan hamba). Di dalam menjalankan fungsi dan peran ini tentu saja pemberi peran akan meminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan fungsi tersebut. Oleh karena itu, di dalam akuntansi kehidupan manusia, maka manusia sebagai khalifah dan Abdullah tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses akuntansi. Dengan kata lain, manusia akan selalu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan dan amalnya dihadapan Sang pemberi amanah, yaitu Allah SWT.
Gambaran di atas harus dijadikan pijakan dalam pengembangan format akuntansi syariah, yang berdimensikan pertanggungjawaban (accountability). Dimensi pertanggungjawaban dalam akuntansi syariah adalah memiliki cakupan yang luas. Jadi pertanggungjawaban ini bukan hanya pertanggungjawaban atas uang (finansial) yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan, akan tetapi pertanggungjawaban ini harus mampu meningkatkan tanggungjawab secara horizontal dan vertikal. Pertanggungjawaban horizontal tertuju pada masyarakat, pemerintah dan kepatuhan pada peraturan. Sementara pertanggungjawaban vertikal adalah tertuju pada transendensi aktivitas (finansial, dan sebagainya) kepada Dzat yang memberikan tanggungjawab. Secara rinci, pertanggungjawaban akuntansi dimaksudkan untuk memenuhi informasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Sehubungan dengan kepentingan-kepentingan tersebut Hadjisarosa mengidentifikasi sebagai berikut:
Kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan
Pelanggan
Pemilik modal
Karyawan
Rekanan
Pemerintah
Masyarakat, dan
Pelestarian lingkungan.60
Kendatipun telah terdapat delapan kepentingan yang harus diperhatikan dalam melakukan pertanggungjawaban atas kondisi dan informasi akuntansi, namun delapan hal tersebut hanyalah baru sebatas pada dimensi horizontal. Timbul pertanyaan, dimanakah letak dimensi vertikalnya? Jawabanya adalah ada pada dimensi zakat. Zakat sebagai manifestasi pertanggungjawaban hamba yang melakukan perbuatan/aktivitas bisnis yang dapat diaudit kemudian dipertanggungjawabkan kesucian modal kepada Dzat pemberi modal. Dimensi inilah yang merupakan dimensi paling tinggi.
Perihal yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban secara vertikal secara syariah diatur oleh hukum-hukum Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Persoalan berikutnya adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan accountability yang berkaitan dengan dimensi horizontal. Kiranya pandangan Lee Parker dapat dijadikan rujukan atau petunjuk bagi peningkatan accountability, sebagai berikut :
Mengintegrasikan antara data keuangan dan nonkeuangan
Penilaian terhadap hasil yang bersifat keuangan dan non keuangan dengan membandingkannya dengan tujuan yang ingin dicapai.
Memperluas ruang lingkup tanggung jawabmencakup masyarakat/lingkungan
Laporan menyangkut tingkat kepatuhan perusahaan pada peraturan pemerintah dan standar akuntansi.61
Sesuai dengan kata kunci pembicaraan ini, yaitu pertanggungjawaban, maka akuntansi
pertanggungjawaban merupakan ciri khas akuntansi syariah. Sebab akuntansi pertanggungjawaban adalah akuntansi yang memberikan informasi yang adil dan bernar. Dengan demikian akuntansi syariah (Islam) yang memiliki unsur pengertian ekonomi, politik, dan agama memiliki kemungkinan besar untuk menunjukkan kunci ke arah akuntansi Pasca Newton.
Berdasarkan pembahasan ini, maka secara nyata menunjukkan bahwa akuntansi syariah (Islam) dapat memberikan sumbangan untuk menciptakan paradigma baru dalam akuntansi. Namun perlu ketegasan, bahwa tidak perlu lagi untuk membedakan antara Akuntansi normatif dan deskriptif dalam akuntansi Islam. Sebab di dalam Islam keduanya akan berjalan. Tidak mungkin ditemukan deskripsi jika tidak ada norma. Norma adalah acuan dalam pengembangan deskripsi. Jadi keduanya ibarat koin mata uang, yang memiliki sisi berbeda namun nilainya sama.

Pengauditan Manajemen

Pengujian Pengendalian Manajemen

Maksud dan tujuan

Pengujian dan pengkajian system ulang pengendalian manajemen dimaksudkan untuk lebih memantapkan sasaran tentative pemeriksaan yang telah diidentifikasi pada tahap persiapan pemeriksaan. Pengujian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pengendalian manajemen dan lebih mengenai adanya kelemahannya sehingga dapat dipastikan apakah suatu tentative audit objectif dapat terus dilanjutkan menjadi firm audit objectif atau tidak perlu dilanjutkan pada tahap pemeriksaan lanjutan, karena kurangnya bukti pendukung.
Langkah- langkah kunci cara menilai pengendalian manjemen antara lain :
1. Menetapkan tingkat kerentanannya tehadap penyalagunaan sumber daya, kegagalan pencapaian sasaran, dan ketidak taatan terhadap hukum dan peraturan.
2. Mengidentifikasi dan memahami pengendalian-pengendalian manajemen yang relevan.
3. Menetapkan apa yang sudah diketahui tentang efektivitas pengendalian.
4. Menilai tingkat kecukupan desain pengendalian.
5. Menetapkan, melalui pengujian, apakah pengendalian-pengendalian yang ada sudah cukup efektif, dan
6. Mendiskusikan hasil penilaian pengendalian manajemen termasuk tindakan-tindakan yang dirancang/diusulkan.

Pendekatan yang dilakukan 

• Informasi mengenai system pengendaian manajemen perlu dikumpulkan terlebih dahulu dengan jalan melakukan pengujian secara langsung terhadap efektivitas dan kemanfaatan prosedur dan unsure pengendalian lainnya yang telah ditetapkan oleh manajemen.
• Informasi yang diperoleh akan berguna :
1. Untuk mengidentivikasikan kelemahan-kelemahan manajemen yang mungkin ada dan hal lain yang mungkin memerlukan tambahan waktu dan tenaga selama pemeriksaan lanjutan.
2. Untuk mengabil keputusan yang lebih realitas mengenai sifat dan luas dari pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan.
3. Untuk memperkirakan tenaga pemeriksa, penjadwalan waktu, penyusunan program kerja pemeriksaan lanjutan dan penentuan target penyelesaian laporan hasil pemeriksaan.
• Bidang-bidang yang akan diuji, ditekankan pada sasaran pemeriksaan atau informasi penting yang diperoleh dari tahap persiapan pemeriksaan. Tidak dijamin bahwa yang diperoleh dari tahap persiapan pemeriksaan sudah cukup memadai untuk dapat dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugastahap pengujian ulang system pengendaliaan manajemen.
Oleh karena itu dalam tahap ini perlu pengembangan dan penyesuaian dengan menguji bidang-bidang atau kegiatan tertentu yang dipilih terutama yang mengandung masalah kelemahan (potensial ditingkatkan efisiensi dan efektifitasnya).
Salah satu cara untuk mengetahui prosedur-prosedur yang dilaksanakan dalam organisasi obrik serta untuk mengidetifikasikan bidang-bidang yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut ialah dengan meninjau dan menguji beberapa kegiatan tertentu dari awal sampe akhir.
• Langkah kerja pada tahap pengujian dan pengkajian ulang system pengendalian manajemen diarahkan untuk:
1. Mendapatkan informasi tambahan dan latar belakang yang diperlukan.
2. Review arus prosedur dan praktek-praktek yang dilakukan terhadap transaksi yang dipilih.
3. Mendapatkan bukti-bukti yang relevan, material dan kompeten dihubungkan dengan sasaran tentative pemeriksaan dengan menguji system pengendalian manajemen untuk menentukan :
 Adanya criteria yang layak.
 Bahwa beberapa fakta perorangan atau group pada satu atau lebih tingkat tanggung jawab dapat menyebabkan pelaksanaan kegiatan tidak efisien (sebagai penyebab)
 Bahwa akibat dari pelaksanaan kegiatan yang tidak efisien cukup penting atau cukup berarti (sebagai akibat)
4. Mendapatkan bukti dari system pengendalian manajemen dan bukti yang kompeten harus diproleh bila ada tambahan pekerjaan.
5. Menentukan dan mendapatkan bukti dari system pengendalian manajemen dan bukti yang kompeten harus diperoleh bila ada tambahan pekerjaan.

Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Pengujin

1. Hakekat pengendalian manajemen adalah segalah usaha dan tindakan yang dilakukan oleh manajemen untuk mengarahkan atau menjalankan operasi sesuai dengan standar atau tujuan yang diinginkan.
Dengan demikian pengendalian manajemen mencakup system organisasi, prosedur dan praktek dalam penanganan dan penyelesaian tugas-tugas manajemen secara efektif. Dalam pegujian pengendalian manajemen perlu diperhatikan unsure pengendalian manajemen yang penting sebagai berikut :
- Organisasi
- Kebijaksanaan
- Perencanaan
- Prosedur
- Accounting/pencatatan
- Pelaporan
- Personalia
- Pemeriksaan intern

Organisasi
 
2. Dalam melakukan pengujian unsure/sarana pengendalian manajemen berupa struktur organisasi beserta uraian tugasnya perlu diperhatikan.
a) Apakah struktur organisasi telah sesuai dengan kegiatan yang harus dilaksanakan.
b) Apakah persyaratan tenaga sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab yang telah ditentukan.
c) Apakah ada pembagian tugas dan tanggung jawab sehingga tidak seorang pun diperkenankan melaksanakan suatu kegiatan atau transaksi dari awal sampai akhir tanpa campur tangan orang lain.
d) Apakah dalam pembagian fungsi, tugas dan tanggungjawab dihindarkan terjadinya tumpang tindih, duplikasis dan pertentangan.
e) Apakah ada keharusan bagi setiap orang untuk mempertanggungjawabkan kepada atasan mengenai pelaksanaan tugasnya dengan hasil-hasil yang dicapai dalam hubungannya dengan apa yang harus dicapai.

Kebijaksanaan

3. Kebijaksanaan yang berlaku bagi instansi-intansi pemerintah dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu kebijakan umum dari luar instansi (berupa UU, PP, Kep. Men.); kebijakan umum instansi oleh pimpinan tertinggi, dan kebijakan instansi setempat. Dalam melakukan pengujian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan instansi perlu diperhatiakan :
a) Apakah kebijaksanaan dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tertulis dan system matis serta dikomunikasikan keseluruh fungsionaris dan pegawai dengan system matis dan tepat waktu.
b) Kebijaksanaan yang ada telah sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku dan dilakukan peninjauan secara berkala dan di refisi bila diperlukan.
c) Kebijaksanaan dibuat untuk melaksanakan kegiatan yang telah digariskan secara efektif, efisien dan hemat.
d) Ditetapkan kebijaksanaan khusus bagi setiap unsure pengendalian manajemen lain yang relevan dengan pelaksanaan kegiatan termasuk sangsi-sangsi ketidak taatan terhadap masing-masing kebijaksanaan tersebut berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku.

Perencanaan 

4. Dalam rencana kerja, ditentukan tujuan/sasaran : cara-cara melaksanakannya, kebutuhan tenaga dan dana, waktu pelaksanaannya dan persyaratan yang harus dipenuhi atau peraturan yang harus ditaati. Dalam pengujian terhadap : sarana pengendalian manajemen berupa perencanaan perlu memperhatikan :
a) Apakah untuk setiap kegiatan dibuat rencana terlebih dahulu.
b) Apakah dalam pembuatan rencana telah dipilih alternative yang saling menguntungkan bagi organisasi dan telah diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku.
c) Apakah dalam pembuatan rencana telah diperhitungkan secara matang keterlaksanaan rencana tersebut dalam memperhatikan kondisi setempat
d) Apakah ada penelaahan oleh atasan langsung mengenai rencana kerja yang diajukan kepadanya dan apak rencana yang telah disusun dan disetujui digunakan sebagai salah satu alat kendali pelaksanaan kegiatan.

Prosedur-prosedur

5. Prosedur adalah langkah-langkah yang harus diterapkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan teknis maupun administrative untuk menjamin terselenggaranya kebijaksanaan yang telah ditentukan. Dalam pengujian terhadap prosedur-prosedur perlu diperhatikan:
a) Apakah prosedur yang dibuat selaras dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
b) Apakah prosedur dibuat dalam bentuk tertulis dan sistematis untuk menjamin pelaksanaan secara efektif, efisien dan ekonomis dan taat terhadap ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku.
c) Apakah prosedur-prosedur dikoordinasikan sehingga hasil pekerjaan seorang pegawai suatu unit secara otomatis di cek oleh pegawai unit lain yang bebas melakukan tugasnya tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
d) Apakah prosedur-prosedur tidak tumpang tindih atau bertentangan dengan prosedur lainnya.
e) Apakah prosedur yang ada telah menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan.
f) Apakah prosedur-prosedur yang dibuat sederhana, mudah dan ditinjau kembali secara periodic.

Pencatatan/Akuntansi

6. Pemeriksa hendaknya memperhatikan dan menguji
a) Apakah setiap kegiatan telah dicatat dan apakah pencatatan tersebut dilakukan dengan teliti, tepat waktu, diklasifikasikan dengan tepat dan dapat diandalkan.
b) Apakah accounting atau pencatatan yang ada telah menjamin pengendalian yang cukup atas asset, kewajiban, sertapenggunaan atas sumberdaya dan dana obrik.

Pelaporan

7. Laporan hasil kegiatan merupakan salah satu tugas organisasi
a) Apakah system pelaporan yang dibuat dan dilaksanaan dapat memberikan informasi mutakhir yang dibutuhkn oleh pejabat-pejabat yang bertanggungjawab untuk kepentingan tindaka-tindakan manajemen ( perencanaan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan).
b) Apakah ada keharusan bagi pegawai atau unit-unit organisasi tertentu untuk melaporkan secara tertulis setiap hasil kerja/kegiatannya.
c) Apakah laporan yang disusun berdasarkan data dan informasi yang benar dan tepat waktu.

Personalia
 
8. Dalam pengujian terhadap insur-unsur pengendalian khususnya personalia perlu diperhatikan:
a) Apakah tugas dan tanggungjawab telah diberikan kepada pegawai yang mampu melaksanakan dengan baik.
b) Apakah diangkat pegawai menurut kwalifikasi yang dibutuhkan.
c) Apakah ada supervise dan ada system pengawasan yang memadai terhadap pegawai.
d) Apakah ada penetapan sanksi atau penghargaan prestasi.
e) Apakah dilakukan pembinaan dan ada program diklat pegawai secara berkesinambungan.

Pemeriksaan Intern
9. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian pengendalian manajemen adalah :
a) Apakah ada aparat pemeriksa intern dan telah ditempatkan pada kedudukan yang tepat dalam organisasi.
b) Apakah ruang lingup kegiatan pemeriksaannya ditetapkan dengan jelas dan pekerjaan pemeriksaan intern tersebut telah memenuhi syarat kompetensi, dapat diandalkan dan tepat waktu.
c) Apakah pekerjaan pemeriksaan ditekankan pada perbaikan organisasi dan apakah ada prosedur yang mengatur tinadk lanjut tas hasil pemeriksaannya.
10. Pembuatan ikhtisar hasil pengujian pengendalian manajemen hendaknya setelah selesai melakukan pengujian dan kaji ulang system pengendaliaan manajemen yang mencakup:
a) Kesimpulan apakah pengembangan sasaran tentative pemeriksaan dapat menjadi sasaran definitive untuk dipergunakan dalam tahapan pemeriksaan lanjutan atau tidak perlu dilanjutkan.
b) Langkah kerja yang dilaksanakan pada tahap berikutnya untuk memudahkan program kerja pemeriksaan lanjutan guna mengetahui:
- Apakah ruang lingkup kegiatan pemeriksaannya ditetapkan dengan jelas dan pekerjaan pemeriksaan intern tersebut telah memenuhi syarat kompetensi, dapat diandalkan dan tepat waktu.
- Menentukan saran pemeriksa kepada penanggungjawab mengenai pelaksanaan pemeriksaan lanjutan.
c) Rekomendasi sementara

Manajemen biaya

PERHITUNGAN HARGA POKOK BERDASARKAN KEGIATAN
Keterbatasan Sistem Akuntansi Biaya Tradisional
Perhitungan harga pokok (biaya) produksi tradisional hanya membebankan hanya biaya produksipada produk. Pembebanan biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung pada produk tidak memiliki tantangan khusus. Biaya-biaya ini dibebankan pada produk dengan menggunakan penelusuran langsung atau penelusuran pendorong yang sangat akurat, dan sebagian besar system biaya tradisionaldidesain untuk memastikan bahwa penelusuran ini dilakukan. Dan pembebanan biaya overhead harus bergantung pada penelusuran pendorong.
Tarif Pabrik dan Departemen
Untuk tarif pabrik, biaya overhead terlebih dahulu diakumulasikan pada satu kelompok pabrik yang besar (tahap pertama pembebanan biaya). Biaya overhead dibebankan pada kelompok biaya hanya dengan menambahkan semua biaya overhead yang diidentifikasi pada jurnal umum. Pada tahap pertama, objek biaya adalah pabri dan penelusuran langsung dapat digunakan untuk membebankan biaya pada kelompok pabrik. Pada tahap kedua, biaya overhead dibebankan pada produk dengan mengalikan tarif dengan jam tenaga kerja langsung sesungguhnya yang digunakan oleh stiap produk. Untuk tarif departemen, biaya overhead dibebankan pada masing-masing departemen produksi.
Ketidakcukupan Tarif Pabrik dan Departemen
Tarif pabrik dan departemen tidak cocok dan mungkin menimbulkan biaya produk yang sangat terdistori, untuk perusahaan yang beroperasi pada lingkungan yang disebut lingkungan pemanufakturan tingkat tinggi.
Biaya overhead mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu kewaktu, dan pada banyak perusahaan, mewakili persentase terhadap biaya produk yang jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja langsung. Pada saat yang sama, banyak kegiatan overhead yang tidak berhubungan dengan unit yang diproduksi. Sistem biaya tradisional tidak mampu membebankan secara tepat biaya kegiatan overhead yang tidak berhubungan dengan unit. Kegiatan overhead ini dikonsumsi oleh produk dalam perbandingan yang berbeda dibandingkan dengan kegiatan overhead berdasarkan unit. Karenanya pembebanan overheadhanya dengan menggunakan pendorong berdasarkan unit dapat mendistrorsi biaya produk.Hal ini dapat menjadi masalah yang serius jika biaya overhead yang berdasarkan non unit merupakan proporsi yang signifikan dari keseluruhan biaya overhead.
Pembebanan overhead seharusnya mencerminkan jumlah overhead yang dibutuhkan oleh setiap produk. Perhitungan harga pokok berbasis kegiatan mengakui bahwa tidak semu biaya overhead bervariasi terhadap jumlah unit yang diproduksi. Dengan menggunakan pendorong kegiatan berdasarkan unit dan pendorong berdasarkan non unit, biaya overhead dapat lebih akurat ditelusuri pada produk individu. Penelusuran ini dapat tercapai dengan menerapkan langkah-langkah berikut:
1. Mengidentifikasi kegiatan utama.
2. Menentukan biaya –biaya kegiatan tersebut.
3. Mengidentifikasi penyebab atau pendorong biaya kegiatan ini (pendorong kegiatan)
4. Mengelompokkan kegiatan kedalam kelompok biaya yang homogen.
5. Menghitung tarif kelompok
6. Mengukur permintaan terhadap kegiatan pada tiap produk.
7. Menghitung biaya produk.
Kegiatan merupakan unit dasar dari pekerjaan. Set- set kegiatan homogen merupakan kumpulan kegiatan yang mempunyai klasifikasi proses yang sama, klasifikasi tingkat yang sama, dan klasifikasi pendorong kegiatan yang sama. Klasifikasi proses pengelompokkan kegiatan yang mempunyai tujuan bersama yang sama. Klasifikasitingkat menempatkan kegiatan kegiatan kedalam satu dari empat kategori: tingkat unit, tingkat batch, tingkat produk, dan tingkat fasilitas. Kegiatan tingkat unit terjadi setiap kali suatu unit produk diproduksi. Kegatan tingkat batch terjadi bila diproduksi produk dalam batch. Kegiatan tingkat produk memungkinkan produksi dari setiap jenis produk yang berbeda. Kegiatan tingkat fasilitas mempertahankan proses produksi umum fasilitas. Akhirnya, kegiatan klasifikasi tingkat dengan pendorong kegiatan yang sama digabungkan untuk membentuk set homogen. Dengan menjumlhkan biaya yang berkaitan dengan kegiatan di dalam set homogen mendefinisikan kelompok biaya homogeny. Pendorong kegiatan ini kemudian digunakan untuk menghitung tarif kelompok dan membebankan biaya ke masing-masing produk.
Menerapkan system ABC difasilitasi dengan menciptakan dan mempertahankan pangkalan data bersarkan kegiatan. Pangkalan dat keterkaitan memberikn cara sederhana dan langsung dalam mengumpulkan dan menyusun data ABC. Paling sedikit dua table keterkaitan diperlakukan: Bila table keterkaitan telah dibuat, data dapat disarikansehingga biaya setiap produk dapat dihitung.
Biaya kegiatan merupakan atribut kegiatan yang penting. Biaya kegiatan ditentukan dengan menggunakan penelusuran langsung dan pendorong sumber daya. Pembebanan biaya pada kegiatan meminta penguraian akun buku besar sehingga muncul gambaran jelas tentang bagaimana sumber daya digunakan.

puisi

"Tanpa arti,
klabu sore ini merintih padaku menghampiri hatiku lewat senyum sendu bayang semu, tergores sejuta mimpi yang tak lagi mungkin diraih karena ia kini telah pergi, bersama rajutan senyum dengan peri lain.
biar saja aku begini tersenyum tanpa arti,
malah menangis lewat mata yang mampu berdusta,
lewat pola kata yang seolah tegar,
lewat langkah mantap namun sebenarnya tidak,
aku tanpa arti lagi,
aku tak ada lagi,
tak bermakna untuk kembali,
tak ada guna ada disana,
kuakui itu karena memang aku tak ada di matamu lagi".

kata-kata penyemangat yang ku suka

"Terangilah hatimu dengan ajaran agama Tuhanmu. Ajarkanlah kemalasanmu dengan semangat bekerja. Tunjukilah harapan cita-citamu dengan penuh keyakinan. Mari kejarlah cita-citamu, buanglah impian-impian burukmu. Gerakkanlah langkah kaki dan tanganmu, kerjakanlah apa yang ada di depanmu daripada berangan-angan. Hilangkanlah rasa jemu semasa mudamu. Tatap ke depan wahai generasi muda Islam. Hidup bukan hanya angan-angan, namun sebuah kenyataan. Maka, kejarlah dengan ilmu. Lawanlah kejenuhanmu dengan kesabaran dan kebersihan hatimu serta ketulusan ridha yang diutamakan"

kata-kata penyemangat


menjadi melatilah meski tampak tak bermakna
sebab ia akan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan
ia begitu putih seolah tanpa cacat
sebab ia tak takut hadapi angin dan hujan dengan mungil tubuhnya
ia tak pernah iri melihat mawar yang segar merekah
dan tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi
ia tak pernah dengki dan rendah diri pada keanggunan anggrek dan tulip yang berwarnawarni
dan tak gentar layu karena pahami hakekat hidupnya